Oleh: Muhammad Saiful

nusakini.com - Heboh terkait impor jagung sebanyak 100 ribu terus menjadi sorotan sekaligus menjadi pertanyaan publik. Mengapa kita harus impor jagung dalam jumlah yang kecl tersebut disaat Indonesia mengalami surplus jagung? Bahkan Indonesia telah mengekspor produk pertanian tersebut ke beberapa negara dengan jumlah ratusan ribu ton beberapa waktu lalu?

Bila memakai logika sedehana saja kebijakan impor biasa dilakukan dengan beberapa pertimbangan, seperti stok cadangan nasional kita mengalami defiisit atau diasumsikan bakal mengalami kekurangan dibanding prakiraan konsumsi produk yang dibutuhkan. Namun bila kita mengacuh kepada data mutakhir Badan Pusat Statistik (BPS) terkait produksi jagung nasional, jelas-tegas Indonesia saat ini mengalami surplus. 

Dari data BPS saja tersimpulkan bahwa produksi dan pasokan jagung tahun 2018 sudah surplus sebesar 12 juta ton PK. Sementara itu, Direktur Sereal, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Bambang Sugiharto menegaskan produksi jagung dalam negeri di tahun 2018 melebihi kebutuhan sehingga surplus. Dasar hitungan yang dipakai cukup dihitung dari neraca perdagangan ekspor-impor. Hitungan surplus jagung yakni sejak Januari-September 2018, Indonesia sudah mengekspor jagung 372 ribu ton. Dan bila dikurangi dengan rencana impor 100 ribu ton, Indonesia masih surplus 272 ribu ton. Di tambah lagi, selama 3 tahun ini Indonesia sudah menyetop impor jagung yang biasanya 3,5 juta ton pertahun, setara menyelamatkan devisa Rp 10 triliun. Maka total surplus menjadi 3,77 juta ton setahun (KOMPAS, 9 November 2018)

Lalu pertanyaan yang muncul, mengapa produk jagung nasional yang surplus tersebut heboh. Pemantiknya adalah munculnya rencana kebijakan impor jagung sebesar 100 ribu ton tersebut. Heboh persoalan ini bila ditelisik lebih jauh lebih banyak memiliki nuansa politik dibanding melihat persoalan tersebut dengan lebih jernih.

Pertama, impor jagung ini terbilang sangat kecil bila dibanding dengan ekspor dan penghematan yang telah dilakukan dengan menyetop impor selama 3 tahun. Kedua, persoalan ini jika analisa lebih seksama sama sekali tidak terkait dengan masalah produksi jagung nasional. Adanya rencana kebijakan impor ini -bila memang terkait kurangnya pasokan jagung untuk pakan ternak di beberapa daerah- lebih karena persoalan tata distribusi yang tak merata atau bermainnya tangan-tangan kotor mafia pangan.

Menyoal Manajemen Kebijakan Distribusi Pangan

Bila yang terjadi bukan pada sektor produksi, maka bisa dipastikan persoalan heboh jagung ini lebih pada mis-manajemen distribusi atau memang ada persoalan lain yang lebih ‘kelam’ dalam sengkarut tata manajemen pangan nasional kita yakni terkait dengan mafia pangan. 

Bila diruntut, maka munculnya rencana kebijakan impor jagung ini dikarenakan mengemukanya keluhan sebagian peternak yang mengatakan adanya kekurang pasokan jagung untuk dijadikan pakan ternak, misalnya yang terjadi di Gresik. 

Di tahun 2017 lalu, diketahui persoalan ini tidak ada, padahal surplus jagung di tahun tersebut lebih kecil dibanding surplus di tahun 2018. Anomali ini sebenarnya mudah diurai. Di tahun 2017, perusahaan-perusahaan besar dengan cepat menyerap dan membeli hasil panen jagung petani untuk diolah kembali menjadi pakan ternak. Nah, di tahun 2018, perusahaan-perusahaan besar disinyalir tidak lagi membeli hasil panen jagung petani. Inilah yang menjadi faktor kuat munculnya keluhan kurangnya pasokan jagung untuk pakan dari para peternak.

Bila hal ini benar, sungguh ironis karena di tengah surplus dan hasil kerja keras petani jagung kita, permainan dan kerja model seperti ini masih berlangsung. Kehadiran pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (kemendag) harus dipertanyakan kembali. Menteri Perdagangan (Mendag) yang memiliki otoritas dan kewenangan tersebut seharusnya tidak berpangku tangan dan menegur perusahaan-perusahaan besar tersebut untuk membeli hasil panen jagung petani. 

Ini bila kita ingin melihat cita-cita kemandirian dan kedaulatan pangan seperti yang termaktub dalam Nawacita pemerintahan Jokowi-JK tegak berdiri dan keberpihakan pada nasib kesejahteraan petani kita bukan hanya sekedar jargon belaka. Semangat bercocok tanam dari petani demi perut sekian ratus juta rakyat Indonesia jangan dimatikan lagi. Jangan main-main dengan nasib kesejahteraan petani, karena dari hasil keringat merekalah mulut sekian ratus juta rakyat Indonesia tergantung.(*penulis adalah pengamat politik dan kebijakan publik)